Wednesday, September 07, 2005

Bertemu Bukek Siansu

Saat itu aku tengah berjalan-jalan seorang diri di tengah hutan. Meski siang hari, suasana hutan itu seperti malam hari saja, karena sinar matahari terhalang oleh rimbunnya pohon jati yang berdiri tegak berjajar-jajar. Aku mencoba menengadahkan wajahku mencoba mencari secercah cahaya, tapi semua itu sia-sia, gelapnya suasana membuat aku harus ekstra hati-hati dalam berjalan.
Krasa...krusuk......krusuk....krasak....suara daun kering yang terinjak kakiku menambah seram suasana. Tiba-tiba terdengar alunan musik dari arah depan. Awalnya hanya sayup-sayup terdengar, tapi lama kelamaan makin jelas dan bersamaan dengan itu aku melihat sesosok bayangan putih yang bergerak perlahan seolah-olah tengah melayang di atas tanah.
"Ga...gawat, ada setan," bulu tengkuk pun berdiri. Aku tak berani bergerak sama sekali. Seolah aku sebongkah besi dan bumi ini adalah magnet yang besar, aku diam tak bergerak seperti patung tertancap di tanah. Hanya pikiranku saja yang masih bekerja, "mati aku, mati aku," berkali-kali aku mencoba mengucapkan hal itu, tapi yang keluar dari mulutku hanya desisan tak bermakna.
Bayangan putih itu semakin dekat dan aku masih tak mampu bergerak. Tinggal empat langkah lagi bayangan itu akan berada di hadapanku, tiga langkah, dua langkah, satu langkah dan tep! Bayangan itu berhenti tepat di depanku dengan masih diiringi alunan musik aneh yang aku yakin adalah musik mandarin.
"Selamat datang, anak muda," bayangan itu berkata sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Bayangan yang aku duga setan ternyata adalah seorang tua yang berwajah segar sehingga sulit sekali menerka umurnya. Rambutnya panjang dan berwarna putih semua, tatapan matanya teduh dan suaranya sangat menyejukkan di hati. Melihat aku hanya terdiam terpaku, orang tua itu mengulurkan kedua tangannya dan memegang kedua bahuku. Seperti merasakan aliran udara yang sejuk, seluruh tubuhku yang tadinya kaku dan tak bisa digerakkan kini mulai bisa kukendalikan lagi. Setelah tersenyum dengan satu gerakan lembut dia lepaskan pegangannya di bahuku dan melangkah mundur. Saking ringan dan lembutnya gerakan orang tua itu, aku melihatnya seperti melayang saja.
"Nah, selamat datang anak muda," dia mengulang kembali perkataannya kepadaku.
"Oh..ya...ya...terima kasih, kakek tua," jawabku tergagap.
"Tak usah takut, aku bukanlah setan seperti yang kaubayangkan. Aku juga manusia biasa sepertimu," seolah tahu yang kupikirkan, kakek itu menjelaskan bahwa dirinya bukanlah setan, melainkan manusia biasa yang kebetulan juga sedang melewati hutan jati itu.
"Siapakah sebenarnya kakek ini?" aku bertanya kepadanya.
"Bukankah sudah aku katakan kepadamu tadi, aku ini manusia seperti dirimu," jawabnya.
"Bukan..bukan itu maksudku. Tapi siapa nama kakek?"
"Namaku Bukek Siansu," dengan tenang dia menyebut namanya.
"Hah..Bu...bu..bukek siansu? Apa kakek ini Bukek Siansu suhunya Seruling Emas?" tanyaku seolah tak percaya.
"Iya, betul sekali anak muda," jawabnya sambil menganggukkan kepala.
Sungguh aku tak percaya bisa bertemu dengan seorang Bukeke Siansu yang terkenal sebagai manusia setengah dewa di kolong jagad ini. Siapa orangnya yang tak mengenal Bukek Siansu yang tiada tanding di rimba Kangouw. Tapi kenapa dia berada di sini, bukankah Bukek Siansu hanyalah tokoh hayalan pengarang silat Kho Ping ho? Tak mungkin, pasti dia bohong. Berpikir seperti itu, aku langsung mengajukan beberapa pertanyaan. "Maaf kakek, jika benar engkau Bukek Siansu, aku ingin bertanya kepadamu."
"Silahkan."
"Suara musik apa yang tadi mengiringi kedatanganmu, kemudian untuk apa kakek berada di sini?" aku mengajukan beberapa pertanyaan kepada kakek yang mengaku Bukek Siansu itu.
Dengan tersenyum kakek itu memandangku dan berkata, "Anak muda yang pintar, aku akan menjawab pertanyaanmu. Musik yang mengiringi kedatanganku tadi adalah musik dari negeri asalku, yaitu Pulau Es. Kemanapun aku pergi, musik itu akan selalu mengalun mengiringi langkah kakiku. Meski tanganku tak menyentuh dawai alat musik yang kupanggul ini, tapi dengan kekuatan batin aku bisa menggerakkannya dan menghasilkan alunan musik yang kusukai. Sementara itu, alat musik yang mengeluarkan irama merdu itu bernama Kim."
"Terus jawaban pertanyaan kedua?" selaku.
"Jawaban dari pertanyaan kedua mudah sekali. Jika kamu merasa mengenal Bukek Siansu, tentu kamu juga mengetahui bahwa setiap awal musim semi aku selalu datang ke tempat-tempat yang tak terduga untuk memberikan 'petunjuk' kepada siapa pun yang bertemu denganku," jawabnya masih tetap dengan senyumnya yang polos seperti senyum anak-anak itu.
Plak! Kutepuk jidatku sendiri. Iya, hari ini, kan, awal dari musim semi. Kalau benar dia adalah Bukek Siansu berarti aku bisa meminta 'petunjuk' darinya agar aku bisa jadi orang sakti dan menolong sesama. "Baik, aku percaya bahwa kakek adalah Bukek Siansu. Jadi, aku sekarang mohon petunjuk darimu," pintaku dengan sopan.
"Boleh, apa yang kau inginkan?" tanya Bukek Siansu.
"Aku ingin ilmu yang kau turunkan kepada pendekar Seruling Emas."
"Baik. Lihatlah ilmu yang akan kumainkan ini dan hafalkan," kata Bukek Siansu yang langsung bersilat memperagakan gerakan-gerakan silat yang indah tapi juga memiliki kekuatan yang dahsyat. Hal itu terbukti dari deru angin yang keluar dari setiap gerakan kakek tua itu. Setelah sekian lama bersilat akhirnya dia menyudahi gerakannya dengan melompat ke atas sekali dan saat turun tubuhnya menukik cepat seperti elang yang hendak menyambar mangsanya. Dan tepat ketika tubuhnya hampir menghunjam bumi, tubuh tua kakek itu bergulung-gulugn sebelum akhirnya dengan tenang kakiknya menginjak bumi kembali. Aku melongo melihat semua aksinya tadi.
"Sekarang, silahkan kau peragakan kembali apa yang telah aku lakukan tadi," perintahnya.
"Tapi, itu tak mungkin, kek. Aku belum pernah berlatih silat sama sekali, bagaimana aku bisa," protesku.
"Tentu kau bisa, kalau kau bersungguh-sungguh. Lakukanlah," kembali dia memerintah aku untuk melakukan semua gerakan yang dia perlihatkan tadi.
Agak gemetar aku mulai menirukan kembali semua gerakan yang diperlihatkan Bukek Siansu tadi. Ajaib! Meski aku tak pernah belajar silat, ternyata aku bisa menirukan semua gerakan Bukek Siansu dan ketika akhirnya aku melompat ke atas dan kembali ke bumi dengan gaya elang menukik, tiba-tiba mataku berkunang-kunang dan kepalaku pusing, tak sempat lagi aku berpikir, segera aku memiringkan tubuhku agar kepalaku tidak menyentuh tanah terlebih dahulu.
Bruk! "Aduh!" teriakku sambil mengusap-usap bahuku yang menghantam tanah. Saat kubuka kedua mataku, ternyata aku berada di dalam kamarku. Rupanya aku bermimpi bertemu dengan Bukek Siansu dan mendapat petunjuk darinya. Waktu aku jatuh saat menirukan gerakan akhir dari jurus yang diajarkannya itu, ternyata aku terguling dari atas kasurku.
Oalah, apes-apes, begini akibat terlalu banyak baca buku cerita silat. Sampai mimpi pun terbawa-bawa!

1 comment:

Anonymous said...

dasar orang gila!!!!